Oleh Syahlan Romadon
(P.Mat.Bil.09/09301241041)
Semester
ini, saya menempuh mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika. Istilah filsafat
tiba-tiba muncul dalam benak saya. Saya menganggap bahwa dalam kuliah ini, saya
akan mengetahui seluk beluk pendidikan matematika dari akar hingga ujungnya.
Akan tetapi, setelah mengikuti kuliah pertama, saya menganggap bahwa setelah
kuliah ini saya bisa berfilsafat dan bisa memahami dan menyikapi setiap langkah
kehidupan kita.
Dalam
pertemuan perdana dengan Dr. Marsigit, telah disampaikan bahwa filsafat
diartikan sebagai olah pikir. Filsafat juga dapat diartikan sebagai hidup. Akan
tetapi, dalam kondisi sekarang, saya belum sanggup untuk memaknai filsafat
sebagai hal tersebut di atas. Mungkin karena saya yang masih awam. Bisa juga
karena hati saya yang belum terbuka sepenuhnya dalam memahami makna filsafat. Pemahaman
saya sekarang, saya mengartikan filsafat sebagai memahami. Dalam hal ini,
memahami sesuatu dengan sedalam-dalamnya. Ketika kita berfikir dengan didasari
filsafat, kita akan mendefinisikan segala sesuatu yang tersusun dari sesuatu
yang perlu didefinisikan lagi, sehingga akan muncul istilah definisi dalam
definisi. Atau dapat dikatakan inti dari segala inti.
Jujur
saja, saya masih asing dengan istilah filsafat. Saya masih belum sanggup untuk
memahami segala sesuatu dengan sedalam-dalamnya. Sayapun masih kurang ilmu
untuk bisa berfilsafat. Ketika menulis refleksi ini, saya belum bisa memahami
setiap elegi yang disampaikan Dr. Marsigit dalam blog. Saya sadar, untuk bisa berfilsafat saya harus banyak membaca
elegi yang beliau paparkan dan saya harus berusaha untuk bisa memahami dan
memberi tanggapan dalam elegi tersebut.
Dalam
kuliah, beliau Dr. Marsigit menyampaikan bahwa ketika kita ingin berfilsafat,
hendaknya kita kuatkan dulu spiritual kita agar kita tidak terjerumus ke dalam
hal-hal yang di luar jangkauan pikiran kita, bahkan bisa membuat kita tersesat.
Kita harus menempatkan kepercayaan kita kepada Tuhan di atas filsafat, bahkan
di atas segalanya. Banyak juga pendapat, tanggapan, serta refleksi yang
menyampaikan bahwa filsafat itu membuat kita tersesat, jadi kita harus
hati-hati dalam berfilsafat. Akan tetapi, berbeda dengan saya, kondisi
sekarang, saya belum terpikir dan belum terarahkan untuk menganggap bahwa
filsafat itu menyesatkan. Saya belum tahu apa alasan bahwa filsafat itu bisa
menyesatkan. Entah karena saya yang masih awam untuk berfilsafat ataukah karena
saya yang terlalu menyepelekan untuk memahami sesuatu secara mendalam.
Anggapan saya sekarang, ketika kita
berfilsafat, yaitu memahami segala sesuatu dengan sedalam-dalamnya makna, kita
akan mendapatkan arti yang sebenarnya. Kita akan lebih berpikir panjang ketika akan
melakukan sesuatu. Dengan filsafat kita bisa berusaha memahami segala sesuatu
secara utuh. Kita akan bisa bersikap bijaksana dan berpikir matang sebelum
melaksanakan sesuatu.
Kebiasaan berfilsafat juga bisa
mengubah gaya hidup kita menjadi gaya hidup yang adil dan seimbang. Adil tidak
diartikan sebagai sama rata, sama rasa, atau sama segalanya. Kita tidak
bertindak adil dengan cara kita berjalan mundur agar seimbang dengan kebiasaan
kita yang selalu berjalan maju. Kita tidak bertindak adil dengan cara makan
dengan tangan kiri demi menyeimbangkan kebiasaan kita makan dengan tangan
kanan. Akan tetapi, adil diartikan sebagai memberi sesuai dengan porsinya.
Porsi berjalan maju dan berjalan mundur itu berbeda. Porsi penggunaan tangan
kanan dan tangan kiri juga berbeda. Dalam memahami makna adil, akan lebih jelas
ketika kita menggambil contoh yang sederhana. Misalnya, orang tua akan memberi
uang saku anaknya sesuai dengan tingkat pendidikannya. Anak yang duduk di kelas
2 SD mendapatkan uang saku yang berbeda dengan anak yang duduk di kelas 2 SMA.
Contoh lain, anak-anak diberi tugas untuk membawa beban yang beratnya berbeda
dengan orang dewasa. Apa jadinya kalau anak-anak dan orang dewasa sama-sama
membawa beban yang beratnya 40 kg? Pasti itu tidak adil dan tidak seimbang.
Dengan berfilsafat, harapannya akan bisa mengubah pola pikir dan pola hidup
yang mengarah pada hal-hal yang lebih baik.
Pertanyaan:
1. Apa
yang mengarahkan kita pada hal yang menyesatkan ketika kita berfilsafat tanpa
didasari spiritualitas?
2. Bagaimana
tingkatan adil, sehingga kita bisa memilih dan menjalan sesuatu dengan adil dan sesuai dengan harapan orang lain?